GROBOG JATENG, Grobogan - Harga beras yang melonjak tinggi di pasaran, salah satunya disebabkan oleh faktor kenaikan harga gabah kering.
Menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan, harga gabah mencapai Rp 7.100 per kilogram, dari normalnya Rp 5.500 sampai Rp 6.000 per kilogram.
Meskipun harga gabah cukup tinggi, kondisi tersebut ternyata tidak menguntungkan para petani. Hal itu karena banyak petani yang sawahnya mengalami gagal panen.
Berdasarkan pantauan Grobog Jateng di Desa Putat, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, terdapat sedikitnya 132 hektar sawah yang mengalami gagal panen.
Wilayah ini merupakan salah satu daerah yang menjadi penerapan sistem musim tanam (MT) III padi atau musim tanam padi tiga kali dalam setahun, sehingga baru melakukan panen.
Selain faktor musim kemarau berkepanjangan sehingga berdampak terhadap kondisi tanaman, gagal panen yang terjadi dinilai juga disebabkan oleh kurang tepatnya pengaplikasian MT III padi.
Salah satu petani Desa Putat, Kecamatan Purwodadi, Jumadi mengatakan penerapan MT III padi cenderung dipaksakan, kendati musim kemarau tahun ini sudah diprediksi akan berlangsung lama.
Selain itu, kondisi tanah di area ini pada musim kemarau cenderung kurang cocok untuk penanaman padi. Apalagi biasanya petani menanam tanaman palawija, seperi kacang tanah dan jagung.
Meskipun demikian, pihaknya juga tak memungkiri gagal panen yang terjadi juga dipengaruhi oleh serangan hama wereng, tikus hingga burung pipit.
"Hasil panen ini termasuk gagal. Masalahnya karena cuaca panas, terkena hama dan MT III. Seharusnya ditanami kacang atau jagung, ini malah ditanami padi," katanya, Senin (11/9/2023).
Jumadi meminta penerapan sistem MT III padi ini untuk dievaluasi atau dikembalikan ke sistem semula, yakni hanya dua kali musim tanam padi dalam setahun.
Menurutnya, pemerintah seharunya tidak hanya mengejar target produktivitas, namun juga perlu memperhatikan nasib petani sehingga tidak dirugikan.
"Petani sangat rugi. Harapannya seperti semula lagi, satu tahun tanam padi dua kali, yang ketiga bisa tanam kacang atau tanaman palawija yang lain, itu bagus," pintanya.
Sementara itu, anggota Kelompok Tani Handayani Desa Putat Ngatemin mengatakan bahwa panen yang dihasilkan pada MT III ini sangat menurun drastis.
Apabila pada musim panen sebelumnya bisa menghasilkan hingga 8 ton gabah per satu hektar sawah, kali ini hanya mencapai 2 sampai 2,5 ton gabah.
Ia menyebut, cuaca panas akibat musim kemarau berkepanjangan menjadi salah satu faktor yang berdampak terhadap kondisi tanaman padi, sehingga panen yang dibasilkan menurun.
"Luas sawah di area ini ada 132 hektar. Biasanya hasil panen per hektar bisa 7,5 sampai 8 ton, ini hanya 2 sampai 2,5 ton," katanya.
Ia mengungkapkan bahwa panen yang dihasilkan tersebut sama sekali tidak bisa menutup ongkos produksi yang telah dikeluarkan, meskipun harga gabah naik.
Hal itu karena biaya sewa lahan, perawatan tanaman hingga harga pupuk saat ini sangat mahal. Apalagi petani juga harus membangun irigasi dengan sistem pompanisasi.
"Harga gabah memang naik, tapi tidak bisa menutup biaya produksi. Sama sekali tidak nyucuk (seimbang). Biaya beli/sewa sawah saja tidak kembali. Jadi petani ya rugi," ungkapnya. (Pandu/AN/Red).